Orang Tua Berlomba-Lomba Menyekolahkan Anaknya Di Sekolah Favorit ! Biar Apa Coba?

19750-min.jpg
Banyak orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah favorit. Karena kualitasnya, lingkungannya, fasilitasnya, atau harganya? Eh.

Dalam aktivitas yg sedang syahdu-syahdunya, sambil scroll-scroll timeline Instagram, aku menemukan sesuatu yang (cukup bikin membelalak). Dalam sebuah postingan milik Zaskia Adya Mecca beserta anak terakhirnya serta Annisa Azizah—plus anaknya yg baru lahir, Zaskia menyentil Annisa buat segera mendaftarkan anaknya ke sekolah. Mendaftarkan anak ke sekolah ini, menurutnya paling lambat satu bulan sehabis anaknya lahir. Supaya anak Annisa tak kehabisan slot kursi buat sekolah. Tunggu, satu bulan sesudah lahiran udah didaftarin sekolah?
IG-min.png
Saya terkejut dan tentu saja penasaran. Biasanya yang ada di pikiran orang kebanyakan, selesainya anak lahir, hal yg ribet adalah mengembangkan si buah hati tadi akta kelahiran. Boro-boro mendaftar sekolah.

Setelah admin usut arah pembicaraan tadi, ternyata yang dimaksud mendaftar sekolah adalah melakukan booking ke PAUD serta Taman Kanak-kanak favorit agar nanti kelak anaknya bisa duduk di sekolah tadi. Info yg saya terima, ternyata beberapa sekolah tersebut menerapkan sistem waiting list, Saudara-saudara.

Saya cukup heran bersama perkembangan jaman. Jangankan punya pengalaman daftar-daftar PAUD, duduk di tingkat TK saja aku hanya setahun.

Mengetahui kebenaran itu, aku jadi makin bersemangat menyelidiki komentar-komentar pada postingan tersebut. Dalam gosip ibu-ibu di kolom komentar, saya menemukan fakta yang lebih mencengangkan.

Tidak hanya PAUD dan Taman Kanak-kanak saja yg bisa waiting list, pendaftaran daycare pun ternyata serupa. Bahkan di beberapa komentar yang muncul, mereka mendaftarkan anaknya ke daycare sejak si buah hati tadi masih pada kandungan. Eh, nggak sekalian pas masih dalam perencanaan bikin anak, nih?

Fenomena di atas kemudian jadi bahan refleksi bagi aku. Seperti apa sekolah yg difavoritkan itu? Sampai bikin orang tua sebegitu visionernya, rela-rela aja daftarin anaknya yg baru lahir. Apakah apabila nanti aku memiliki anak perlu buat memasukannya ke sekolah favorit? Bahkan lebih jauh lagi, apakah anak aku kelak mau sekolah di lokasi yang admin pilihkan—yg terbaik menurut admin?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi tentu tidak akan sama bagi setiap orang. Berbagai macam faktor sanggup mempengaruhi preferensi orang tua buat menyekolahkan anak. Mereka yg tinggal di kota-kota besar, sangat dimungkinkan terbiasa bersama istilah “sekolah favorit”, “sekolah biasa saja” atau bahkan “sekolah buangan”.

Tapi kita tengok contohnya di beberapa daerah, bahkan terdapat yang terpaksa mempunyai jargon “satu kecamatan satu sekolah”. Itu pun syukur-syukur jika terdapat PAUD/TK-nya.

Saya sendiri terkadang masih galau dengan penyebutan sekolah-sekolah favorit itu mirip dengan apa. Oke taruhlah salah satu indikatornya adalah sekolah tadi diminati paling banyak anak lantaran sekolah tersebut (berprestasi) dalam banyak sekali ajang. Makanya, banyak “sekolah favorit” bahkan lembaga bimbingan belajar yang bahagia memamerkan siswa-muridnya yang berprestasi.

Namun yang sering lupa kita amati, “sekolah favorit” yg banyak prestasi tersebut sering kali mempunyai korelasi pula bersama input murid-siswinya yg memang telah baik. Maka, sanggup jadi prestasi yg diraih atau para lulusan yg kece-kece itu, tak selalu akibat dari proses belajar di pada sekolah atau lembaganya. Dengan bisnis yg effortless sekalipun, output-nya sudah terjamin.

Dalam konteks sekolah swasta, sekolah favorit sering kali dekat dengan suatu hal yg prestis. Misalnya sarana-prasarana yang canggih, memberikan aneka macam macam program kursus ataupun memiliki banyak pilihan ekstrakulikuler.


Bahkan saking banyaknya aktivitas sang murid, kesibukannya keluar dari kesibukan orang tuanya sendiri. Bisa ditebak, sekolah bersama tipe seperti ini akan berpengaruh pula dalam biaya yang mahal.

Bagi sebagian masyakarat kita, sekolah di tempat seperti ini cukup mampu dibanggakan, atau bersama kata lain dipamerkan. Tidak sedikit orang tua yang bangga bisa menyekolahkan anaknya di “sekolah mahal”. Sementara si anak akan dibikin bangga lantaran dia merasa mampu menerima apa pun di sekolahnya. Perhatian guru yg maksimal sampai fasilitas tiada batas. Hingga dipuaskan bersama cukup banyak pilihan wahana belajar.

Ah, sudahlah. Saya memang belum jadi orang tua, sih. Akan tetapi, semoga dikala udah jadi orang tua nanti admin tidak perlu ribet-ribet wajib nyekolahin anak saya di lokasi terbaik hanya lantaran impian gengsi admin sendiri. Semoga segala unfinished business admin telah rampung. Sehingga, saya tidak perlu menaruh “kepentingan aku” yang belum tercapai tersebut pada anak admin.

Kasihan mereka. Harus hidup menanggung beban mimpi orang tuanya.