Magang Dan Nggak Dibayar, Bagaimana Menurut Anda?

Magang Dan Nggak Dibayar, Bagaimana Menurut Anda?
Pengalaman jadi anak magang emang nggak mampu untuk bayar tagihan, sih, akan tetapi kerja magang nggak dibayar juga sanggup tetep seru, kok.

Sekitar tahun 2019 akhir atau 2019 awal, admin jadi anak magang di bandara, bagian berita. Iya, mengeluarkan suara halo-halo serta pengumuman panggilan penumpang yang terlambat boarding sampai pengumuman delay pesawat merupakan apa yang admin lakukan selama satu bulan penuh, selesainya satu bulan sebelumnya saya berkutat di bagian sekretariat serta mengurus urusan administratif yang terkait bersama airport services.

Pengalaman jadi anak magang tersebut aku jangan lupa dengan baik di kepala. Tapi, ada satu pertanyaan yang saya ingat saya dapatkan kala itu:

“Kamu dibayar nggak magang di sana?”

Kalau pertanyaan itu diberikan saat admin berada di tengah-tengah masa magang, saya terperinci bakal jawab, “Nggak.” Lah gimana, makan siang aja aku beli pakai uang sendiri, kok.

Tapi menyenangkannya, bos admin tidak mengecewakan royal. Sering kali, kami—para anak magang yg seragamnya cuma jaket almamater kampus—ditraktir makan siang bareng di luar bersama karyawan-karyawan lainnya, bahkan pernah juga diajak karaoke bersama.

Di akhir masa magang, saya baru tahu bahwa hidup ini penuh kejutan: Bos aku tersebut menetapkan menaruh kami insentif berupa uang. Nggak banyak, memang, tapi dikala itu rasanya cukup puas, apalagi admin pun telah bisa pengalaman yang banyak, lengkap beserta jejaring baru yang luas.

Tapi, usut punya usut, PerMenakertrans Nomor PER/22/MEN/IX/2009 telah mengatur soal ini. Dalam peraturan tadi, disebutkan salah satu hak pemagang merupakan uang saku dan/atau uang transportasi. Dengan istilahnya, apa yg dilakukan oleh bos admin adalah semata-mata memenuhi peraturan tadi.

Nah, kini, di lini masa media sosial sedang berlangsung debat perihal betapa jadi anak magang semestinya dibayar. Ini bermula dari cuitan akun @AOC yg lalu ditanggapi banyak orang, termasuk Gustika Jusuf yang merupakan cucu dari Mohammad Hatta.
Magang Dan Nggak Dibayar, Bagaimana Menurut Anda?

Kalau @AOC menyebut bahwa magang seharusnya dibayar karena “experience doesn’t pay the bill”, Gustika justru meyakini bahwa anak magang tidak dibayar itu sah-sah saja. Dikatakannya, “Sometimes we pursue unpaid internships for the experience exactly, networking, and more. Although if it’s a for-profit organisation or company, they definitely should pay their interns.”

Hmm, jadi sebenarnya lebih makes sense mana: Magang berbayar atau nggak berbayar?

Apa yg Biasa Terjadi ketika Magang dan Kenapa Oke-Oke Saja Nggak Dapat Uang?


Di daerah aku sendiri, anak magang nggak mendapat honor bulanan. Paling pol, anak magang bisa makan siang gratis bersama insentif lelucon garing yg bakal membuat dia harus terkekeh-kekeh kaku lantaran takut digaplok bila nggak ikut ketawa. Wkwk.

Ada anak magang yg langsung jadi idola karena hobi pergi ke Indomaret—membuat karyawan ikut-ikutan titip beli jajan. Ada pula anak magang yang sepertinya rajin bersih-bersih pada akhirnya bisa jadi partner yg baik buat nguras kolam ikan. Hal yang sama pun terjadi pada aku.

Di tempat magang, beberapa karyawan biasanya “meminta tolong” aku pergi ke fotokopian untuk memperbanyak berkas sampai-sampai mas-mas fotokopiannya hafal sama saya. Saking hafalnya, saya curiga kalau waktu itu kami ketemu di jalan, dia kayaknya bakal nyapa saya beserta kalimat, “Mau difotokopi berapa lbr, Mbak, motornya?”

Bekerja tidak sesuai job desc adalah inti penting dari “menjadi anak magang”. Ada banyak ceruk yang sebenarnya mampu diulik oleh anak magang dan ini justru mampu menjadi keuntungan bagi mereka—tidak melulu soal uang. Kawan aku pernah magang di stasiun televisi di bagian grafis, akan tetapi beliau justru menemukan passion dan bakatnya di bidang voice over. See?

Pengalaman-pengalaman eksplorasi semacam inilah yg menciptakan sebagian orang santai-santai saja bekerja magang tanpa bayaran cash—apalagi yang lebih butuh barteran berupa nilai untuk menunjang keperluan mata kuliah.

Ingat-Ingat Ini saat Kamu Magang!

Tapi, terdapat satu hal yg penting: peserta magang nggak melulu siswa yang butuh nilai. Ada pula beberapa orang yang belum benar -betul ingin bekerja serta masih ingin mencari pengalaman. Hal-hal semacam ini masih perlu dipertimbangkan perihal berbayar atau tidak berbayar.

Mengutip pernyataan Gustika, “Having an unpaid internship teaches me to work smart .” Meskipun beberapa orang menyebut ini merupakan privilege Gustika yang nggak dimiliki semua orang, kayaknya kita wajib menggarisbawahi tentang “work smart”.

Maksud saya, kalau anda mendaftar jadi anak magang tapi “dikerjai” bersama beban mirip dengan karyawan profesional serta tak dibayar beserta layak, ya ngapain pula tahan lama-lama di sana? Tolonglah, keperluanmu untuk mencari pengalaman itu jangan sampai disalahgunakan sebagai peluang buat orang lain mencari tenaga kerja profesional yang murah meriah.

Hhhh. Emangnya diskon di Matahari?!

Pemanggilan Kimi Hime Oleh Kominfo Adalah Langkah Awal Untuk Mengenalkan Model Ekonomi Digital Bersyariah

Pemanggilan Kimi Hime Oleh Kominfo Merupakan Langkah Awal Untuk Mengenalkan Model Ekonomi Digital Bersyariah
Pemanggilan Kimi Hime oleh Kominfo begitu penting sebagai langkah awal memperkenalkan model ekonomi digital bersyariah di Indonesia.

Jepang merupakan negara pertama yang sudah menggariskan visi Society 5.0. Visi tadi membayangkan bagaimana kehidupan rakyat akan lebih makmur berkat bantuan konektivitas data serta AI (artificial intelligence) alias kecerdasan buatan.

Setali tiga uang, Presiden Jokowi beberapa waktu kemudian pula menyampaikan antusiasmenya soal masa depan industri digital pada pertemuan G20 di Osaka, Jepang.

Jokowi menggagas IDEA HUB (Inclusive Digital Economy Accelerator Hub), forum berkumpulnya startup unicorn dari para peserta G20 untuk saling mengurasi ide dan pengalaman bisnis ekonomi digital. Inklusif yg berarti “terbuka untuk semuanya” adalah bentuk optimisme Jokowi jika startup Indonesia pun bisa bersaing serta ikut terlibat di kancah global.

Agar gagasan Presiden Jokowi mampu terlaksana, lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia mulai berbenah, termasuk Kominfo. Dan seperti yg kalian tahu, tugas pertama Kominfo ternyata justru memanggil Kimi Hime terkait konten-kontennya di YouTube.

Panggilan terhadap Kimi Hime dilakukan setelah pihak Kominfo menerima aduan dari Komisi I DPR RI. Aduan tersebut didasari dari laporan Asosiasi Pengawas Penyiaran Indonesia (APPI) kepada Komisi I DPR RI.

Alasan APPI adalah, konten YouTube Kimi Hime dianggap mendekati pornografi. Hal tadi cukup meresahkan lantaran, “para subscribers (orang yg berlangganan) konten Kimi Hime di Youtube kebanyakan merupakan anak-anak.”

Ada dua alasan yg menciptakan saya sepakat dengan gebrakan pertama Kominfo yg sangat cemerlang ini.

Pertama, admin menolak Kimi Hime lantaran beliau memang payah dalam bermain PUBG Mobile. Tidak mirip dengan Benny Moza atau BTR Ryzen, Kimi Hime aku nilai kurang cekatan ketika mem-push regu lawan. Kemampuan kontrol recoil-nya pun seringkali berantakan pada akhirnya dia kurang piawai pada melakukan spray-down musuh dari jarak yg cukup jauh.

Alasan ke 2 admin adalah wacana subscribers. Saya pernah dengar gosip bila Kimi Hime rutin mendatangi suatu wilayah dan memaksa anak-anak di sana buat men-subscribe konten YouTube-nya. Ada pula yang bilang bila 2 juta lebih subscribers-nya adalah akibat paksaan Kimi Hime selesainya berbulan-bulan lebih keliling door-to-door di Pulau Jawa. Hii, takoooot! (Kata Orang)

Saya awalnya tak terlalu percaya gosip murahan tadi. Setahu aku subscribing adalah kegiatan yang mampu dilakukan sebebas mungkin dan tanpa paksaan. Tetapi pada saat admin membaca informasi bahwa Kimi Hime dipanggil Kominfo, mungkin saja gosip itu betul.

Lagian, daripada Kominfo meminta pertanggungjawaban sekolah serta orang tua yang membiarkan anak-anaknya berlangganan konten Kimi Hime, kan lebih gampang jikalau langsung memanggil Kimi Hime yg dicurigai memaksa warganet-warganet di bawah umur tersebut. Kalau ternyata tak seperti itu kan ya tinggal minta maaf aja.

Masyarakat Asia, wabil khusus Indonesia seringkali menyelipkan adab ketimuran mereka di dalam setiap kebijakan. Ambil contoh politik luar negeri Indonesia yg “bebas aktif”. Di mana Indonesia “bebas” berkawan bersama negara mana pun, tetapi pula “aktif” membangun perdamaian dunia.

Atau visi Lee Kuan Yew soal Singapura yang makmur itu. Hadir melalui konsepsi “kapitalisme beserta nilai-nilai Asia”. Sederhananya, cara satu-satunya bagi rakyat agar negara makmur merupakan dengan bersikap loyal terhadap negara itu sendiri. Dalam istilahnya, kapitalisme otoritarian.

Mungkin contoh gagasan-gagasan diatas terdengar aneh. Bagaimana cara Indonesia sanggup berlaku “bebas” serta bergaul bersama semua negara, ketika dia juga harus berlaku “aktif” saat melerai konflik yang melibatkan ke 2 temannya tadi?

Atau bagaimana kapitalisme yang identik bersama liberalisme pasar sanggup juga bersifat otoriter pada saat menyangkut keberlangsungan negaranya? Saya awam buat menjawab pertanyaan tersebut, tetapi sepertinya gagasan tadi bisa dilakukan.

Maka pada saat Presiden Jokowi membicarakan ekonomi digital yang inklusif—di mana setiap orang dari banyak sekali macam latar belakang sanggup tiba ke Indonesia—buat bersaing serta meraih kesuksesan ekonomi berkat konektivitas data dan internet, hal yg saya tangkap adalah model ekonomi digital yg inklusif bersyariah.

Karena telah jelas, Kimi Hime yang memakai pakaian seksi tidak boleh masuk di pada model ekonomi digital semacam ini.

Pemanggilan Kimi Hime menurut saya sangat penting sebagai langkah awal Kominfo buat memperkenalkan model ekonomi digital ini. Maksud admin, jika masyarakat tak tahu mirip dengan apa model ekonomi digital inklusif bersyariah tersebut, bagaimana Kominfo bisa fokus menciptakan infrastruktur yang mendukung konektivitas data di setiap wilayah agar sistem IoT (Internet of Things) mampu berfungsi di Indonesia?

FYI, IoT merupakan sistem di mana benda-benda mati di lebih kurang kita diberi koneksi internet dan program machine learning untuk mengirim data dan mendapat data, lalu mengolahnya menjadi berita baru yg bisa dipakai benda-benda mati lain.

Di pada visi Society 5.0, IoT memungkinkan kita buat berkehidupan lebih efektif dan mudah lantaran hal remeh-temeh sudah dipikirkan oleh mesin.

Kulkas yg diberi teknologi IoT misalnya, menggunakan algoritma buat menghitung pola dan probabilitas sayuran atau bahan-bahan kuliner lain yg dimasukkan ke kulkas oleh pemiliknya.

Setelah mengolah berita tadi, ketika satu bahan makanan mirip dengan tomat habis dan pemiliknya lupa buat membeli, kulkas itu secara otomatis akan memesan tomat serta pemiliknya mampu tetap fokus bekerja atau beraktivitas.

Saya membayangkan IoT dipakai di dalam model ekonomi digital inklusif bersyariah. CCTV di jalanan atau di tempat-lokasi umum nanti tak hanya digunakan buat menemukan penjahat, akan tetapi pula melacak perempuan yang memamerkan auratnya.

Lalu benda-benda mati itu akan mengirim berita bila perempuan tersebut mengancam lantaran “mendekati pornografi” ke ponsel pandai wanita tersebut. Selanjutnya ponsel si wanita (tanpa sepengetahuan wanita itu) mengirimkan data-data pribadinya, termasuk rekening uang digitalnya ke CCTV tersebut.

Data-data itu kemudian digunakan CCTV tadi untuk membeli kerudung di online shop, tentu dibayar bersama uang digital si perempuan itu. Tidak membutuhkan waktu lama, pengendara ojek online tiba serta menyerahkan kerudung tadi ke wanita itu lalu pergi.

Hasilnya tentu saja sangat positif. Laki-laki yang berada di sekitarnya terhindar dari zina mata, risiko wanita tersebut diperkosa lantaran berpakaian seronok mampu ditekan, serta usaha kerudung online yg otomatis ini bisa bikin sejahtera ekonomi umat. Subhanallah.


Berkat IoT, warga Indonesia tidak perlu repot dan pusing lagi buat “sekadar mengingatkan” wanita-perempuan yg berpakaian seronok, lantaran nanti sudah ada mesin yg akan mengingatkan itu semua serta kita sanggup fokus akan kehidupan kita yang fana ini.