Apakah Salah Fresh Graduate Lulusan Universitas Indonesia (UI) Minta Gaji Tinggi?

Apakah Salah Fresh Graduate Lulusan Universitas Indonesia (UI) Minta Gaji Tinggi?
Soal honor fresh graduate alumni UI yang minta dibayar tinggi, ya suka-suka dia. Lha wong itu standar yang dia hargai sendiri. Jarang loh, orang bisa memilih standarnya!

Diminta buat memperkirakan standar gaji sebagai fresh graduate, memang nggak selalu gampang bagi setiap orang. Pasalnya, pada “situasi kira-kira” yg sungguh janggal ini, kita berada dalam sebuah dilema besar. Berapa angka yang wajib disebutkan kepada sang pemberi pekerjaan, yang tampak paling realistis buat kesepakatan dua belah pihak.

Ada rasa sungkan jikalau angka yang disebutkan terlalu besar. Takutnya, nanti malah dikira jadi anak fresh graduate yang belagu. Akan tetapi, jikalau mau menaruh nomor yg kecil, kitanya juga nggak mau. Apalagi jika di belakang tahu kebenaran, orang lain memperoleh gaji berkali-kali lipat diatas kita. Mana lezat kerja bila dipenuhi iri serta dengki lantaran honor ? Jadi, berapa sih, honor fresh graduate?

Berada pada kondisi yg serba salah buat meletakkan standar gaji fresh graduate yang nggak punya pengalaman apa-apa ini, benar-benar tidak gampang adanya. Oleh karenanya, admin malah mengapresiasi orang-orang yg sudah tahu standar serta kapasitasnya seperti ini.

Apakah Salah Fresh Graduate Lulusan Universitas Indonesia (UI) Minta Gaji Tinggi?

Mungkin, seorang fresh graduate Universitas Indonesia ini memang benar -benar paham kapasitas beliau. Khususnya sebagai asal daya manusia yg akan dimanfaatkan “sebaik-baiknya” sama perusahaan yg sedang beliau lamar. Jadi, sah-sah saja, bila dia sudah meletakkan target honor di kepalanya—apabila diterima di perusahaan tersebut.

Tentu saja, ini suka-suka dia, dong? Lha wong, beliau sudah tahu caranya menghargai dirinya sendiri. Perlu diakui, ini kemampuan yg nggak dimiliki semua orang. Karena kebanyakan sih, dalam sungkan jikalau telah ngomongin soal angka. Justru dengan kayak gini, beliau memberitahukan betul soal keyakinan dirinya atas kemampuannya.

Mungkin nomor 8 juta bagi kita-kita yang gajinya masih saja bertahan diatas UMR dikit ini, sudah cukup tinggi. Tapi bagi beliau, bisa jadi itu nomor yg biasa aja—dan bukan levelnya. Siapa tahu, angka segitu masih di bawah uang saku bulanan yang sering kali dia peroleh.

Ya mohon maaf, nih. Kan gaya hidup setiap orang itu beda-beda. Jadi, saya yakin, dia pasti sudah memperhitungkan benar pengeluaran setiap bulannya. Dari makan, tempat tinggal, transportasi, pulsa, dana sosial, hingga dana foya-foya. Sehingga, dia tahu berapa uang yg beliau butuhkan.

Jadi, terserah dia juga mau menghargai dirinya sendiri berapa. Kalau memang beliau ngerasa layak digaji sesuai standar yang beliau putuskan, ya nggak apa-apa. Tapi jika perusahaan nggak bersedia buat menggajinya sesuai dengan standarnya, ya pula nggak apa-apa. Lha wong ini kan proses negosiasi. Kalau nggak setuju, ya nggak usah marah-marah. Apalagi hingga membanding-bandingkan dengan honor fresh graduate kampus lain kayak gitu.

Kalau dia memang mangkel karena gaji fresh graduate yg ditawarkan cuma segitu doang, ngapain malah bawa-bawa kampus lain? Maksudnya gini, okelah beliau memang benar-benar membanggakan nama besar kampusnya dan menganggap almamaternya itu sanggup menaruh kesempatan lebih baginya menjadi warga negara yang kaya raya. Tapi, nggak beserta cara membandingkan “kemampuan” fresh graduate kampus lain pula, kan?

Iya-iya, paham. Kalau situ lulusan sebuah kampus yg masuknya susah karena persaingan yang cukup ketat. Terus munculnya pula susah lagi. Jadi rasanya pengin dianggap lebih, kan? Kayak merasa jadi bibit unggul yg harusnya memang benar -benar diunggulkan serta dieman-eman, gitu, kan? Pokoknya nggak bisalah disama-samain sama kampus lain apalagi soal besaran gaji fresh graduate nya.


Tapi ya, for your iinformation aja. Yang namanya rezeki dan merasa cukup itu nggak selalu soal uang, loh. Lingkungan kerja yang nyaman, tuntutan kerja yg tak terlalu menekan, dan teman-sahabat kerja yang nggak jahat di belakang—apalagi nggak beda-bedain pertemanan dari almamaternya, jadi suatu hal yang biasanya bukan prioritas. Tapi malah jadi investasi yg paripurna.

Hoax, Isu Dan Konspirasi Yahudi Dibalik Harga Rokok 50.000 Perbungkus

Hoax, Isu Dan Konspirasi Yahudi Dibalik Harga Rokok 50.000 Perbungkus
Sebetulnya tidak ada yang aneh di balik isu harga rokok yg rerata 13.000 rupiah, lalu melejit menjadi 50.000 rupiah perbungkus. Ini strategi pertempuran yang biasa saja.

Alurnya seperti ini. Kaum antirokok menciptakan studi, di harga berapakah para perokok akan berhenti merokok? Didapatlah harga 50.000 perbungkus. Kemudian penelitian ini didesiminasikan ke beberapa situsweb abal-abal. Diperbesar beserta tim buzzer di dunia maya, plus segala gimmick nan kreatif.

Ketika mulai ramai, maka langkah selanjutnya, mereka melakukan placement di media-media besar yang seakan-akan informasi. Taktik yg digunakan berupa tanggapan tokoh lewat teknik doorstop. Para tokoh diwawancara dengan pertanyaan: ‘Apa tanggapan Bapak/Ibu bersama usulan rakyat bahwa harga rokok sebaiknya dinaikkan menjadi 50.000 perbungkus?’

Dasar elit politik di negeri pencitraan, bukannya bertanya pulang buat mengkritisi, kebanyakan dari mereka berkomentar mendukung naiknya harga rokok. Politikus-politikus macam begitulah yg banyak menjadi korban para pakar hoax dunia maya. Malu bertanya, ancur muka lalu.

Jawaban-jawaban itu lalu dipelintir, ditambah dengan penguatan dari para opinion leaders yang sudah digalang sebelumnya. Jadi itu barang. Isunya terbungkus rapi. Siap dihadiahkan ke ‘leading sectors’ buat diberi tanggapan.

Para jubir di leading sectors ini bukan politikus. Mereka menjawab normatif. Jadilah isu yang semula berasal dari ‘kajian’, berubah menjadi ‘usulan’, bergeser menjadi ‘seakan-akan mau terjadi’, kemudian matang pada isu: ‘telah pasti terjadi’. Masuk itu barang. Ngeri-ngeri sedap. Elok tenan!

Isu makin gurih karena para politikus prorokok juga ikut latah menanggapi. Menari di atas gendang yang dipukul lawan. Plus, perang netizen di dunia maya yg terus berkobar. Sepintas seluruh berjalan dengan sempurna. Isu yang ‘sudah pasti terjadi’ ini tinggal digiling di ‘mesin akhir tim’ yg telah siap di Pemerintah. Para kaum antirokok pasti tahu yang saya maksud…

Tapi ternyata isu dunia maya berikut pelintirannya, berbalik cepat seketika. Pasalnya terdapat dua.

Pertama, bagi para intelektual tertentu, tahu persis bahwa harga rokok naik menjadi 50.000 perbungkus itu tak akan sanggup terjadi. Karena komponen cukai, yg menyebabkan harga rokok selalu naik, punya hukum, aturan, dan perhitungan tersendiri. Ketika para ahli ini mulai berkomentar, arus mulai berbalik.

Kedua, di dunia nyata, para pakar pemasaran serta pakar-ahli taktik pasar setiap pabrik dan toko-toko ritel justru bahagia beserta isu tadi.

Fakta di lapangan, pada kurang-lebih seminggu isu ini bergulir, toko-toko mulai perasaan dampaknya. Para pembeli rokok yang rata-rata membeli sebungkus, kini berubah menjadi dua kemasan. Permintaan pasar naik menjadi dua kali lipat.

Datanglah ke gerai-gerai minimarket, dan tanyalah ke para penjaga maka muka mereka penuh senyum. “Tidak sekalian beli tiga, Pak. Mumpung harga rokok belum naik jadi 50.000 perbungkus, lho…” ucap mereka dengan muka manis sambil menyimpan sejenis senyum tipis, serta membatin, “Bego banget orang ini, tampan-ganteng gampang kena hoax…”

Mbak-mbak SPG yang semula lebih banyak tersenyum daripada menyebutkan soal rokok jualan mereka, mulai minggu kemarin mulai menutup penerangan beserta kalimat, “Mumpung harga rokok belum naik jadi 50.000 lho, Pak…” ujar mereka sembari tersenyum penuh kegelian bila kemudian menyaksikan ada orang yang merasa panik dengan kalimat ancaman itu.

Afiliasi antara para jagoan marketing rokok di lapangan bersama para manajer toko inilah yg membuat rokok laku makin menggila. Isu di dunia maya yg seakan para antirokok menang, justru dipelintir orang-orang marketing pabrik rokok yang memang teruji matang di lapangan.

Arus berbalik dua kali lipat. Di kepala mereka, seolah terdapat doa: “Semoga isu ini bertahan lama… Laris. Laris. Laris, beib!”

Jauh hari sebelum para pakar hoax menjadi profesi, beberapa orang marketing pabrik rokok ini sudah diuji beserta perang dagang sebenarnya, menguasai toko demi toko, kampung demi kampung. Ukuran karier mereka jelas. Tidak ada istilah suka atau tak suka. Tidak terdapat lokasi bagi orang yang lebih suka bicara dibanding bekerja.

Semua berhenti di satu tutur: Omzet.

Mereka sejak dulu telah terlatih menangani isu-isu. “Rokok Marlboro itu bukan dari tembakau, tapi dari kertas. Kalau tak percaya, rendamlah sebatang rokok Marlboro di dalam gelas. Nanti dia akan berubah menjadi kertas.”

Bagi orang yg mendalami dunia rokok, ini sangat menggelikan. Rokok putih menggunakan jenis tembakau virginia. Karakter tembakau virginia memang mirip kertas. Apalagi kalau basah. Sudah pasti mirip kertas.

Mereka, para jagoan marketing pabrik rokok, telah biasa anjlok dengan isu. Djarum pernah diterpa isu: ‘Demi Jesus Aku Rela Untuk Mati’. Omzet langsung jatuh. Tapi kemudian mereka bisa bangkit lagi.

Contoh lain. Salah satu produk Gudang Garam yang semula tumbuh, datang-datang ambruk. Gudang Garam tahu persis kalau satu dari kelemahan rokok ketika itu adalah mudah patah. Mereka kemudian membentuk produk yg dibuat sedemikian rupa sehingga tak mampu patah. Produk premium itu langsung laku di pasar.

Tapi terhenti tiba-datang hanya lantaran satu isu: “Tidak mampu patah karena ada plastiknya.” Begitu isu itu beredar, produk itu langsung wasalam.

Bayangkan, beberapa orang macam ini, yang telah biasa tiap tahun kena isu ‘rokok mengandung babi’, bertarung siang malam beserta para kompetitor, mendapati hoax ‘harga rokok naik menjadi 50.000 perbungkus’, hati mereka bukannya sedih malah merasa riang gembira.

Isu itu diambil alih oleh mereka. Isu yg mestinya bakal bikin orang tak lagi merokok malah menciptakan perokok mengonsumsi rokok dua kali lipat.

Hal seperti inilah yg membuat para aktivis antirokok selalu kemut-kemut. Pusing.

Sebagian dari mereka memang lulusan dari ilmu komunikasi, akan tetapi mereka gagap berbicara bersama masyarakat, dan gagal memahami logika warga . Sebagian dari mereka lagi adalah para wartawan yang gagal menciptakan karier kewartawanan mereka. Kalau menciptakan karier saja gagal, apalagi membentuk rumahtangga? Eh, menciptakan isu, maksud aku.

Sebagian dari mereka yang lain adalah para dokter, akan tetapi telah lama mereka tidak praktek. Soalnya lebih lezat makan uang perdiem daripada uang layanan kesehatan dari pasien. Sudah lupa caranya menyuntik, karena lebih mudah disuntik program dari funding. Ups!

Nah, saat ini saatnya catatan ini masuk ke bagian yg sesuai bersama judul. Bagian yang paling Anda tunggu: Konspirasi Yahudi.

Oke, jadi seperti ini. Saya hanya mau ngecek saja sih. Di badan tulisan ini sudah aku tanam kode-kode digital. Saya hanya sedang ingin tahu, bagaimana sebuah tulisan disebarkan hanya cukup dengan membaca judulnya saja. Tanpa perlu membaca isinya. Atau disebarkan dulu, baru dibaca kemudian.

Jangan kecewa, ya…


*tersenyum culas*