3 Ungkapan Melegenda Yang Mulai Ditinggalkan Dalam Kehidupan Sosial Kita

3 Ungkapan Melegenda Yang Mulai Ditinggalkan Dalam Kehidupan Sosial Kita
3 Ungkapan Melegenda Yang Mulai Ditinggalkan Dalam Kehidupan Sosial Kita - Ada sebuah ungkapan pada rakyat yang belakangan mulai ditinggalkan oleh sebagian orang. Adalah tiga celoteh, maaf, tolong, dan terima kasih. Sebagai warga —yang ucapnya menganut budaya ketimuran—dahulu kombinasi ketiga kata ini begitu sakral. Saking pentingnya ketiga tutur ini sanggup menunjukkan seberapa perhatiannya dan seberapa respek kita terhadap orang lain.

Orang-orang menduga kata tolong, sebagai sebuah bentuk penghargaan dengan tinggi-tingginya kepada siapapun yg kita mintai tolong. Memang tidak mengherankan. Sebuah tutur tolong dianggap sebagai sebuah bentuk penghargaan karena sanggup memberi impact yg besar. Kita menganggap orang yang memberi kita pertolongan mempunyai power yg besar sehingga apresiasi kita terhadapnya pula begitu besarnya walau hanya hingga pada sebuah celoteh.

Dalam kehidupan sehari-hari bahkan kita seolah berkewajiban buat mengucapkan tolong hanya buat meminta donasi hal yg remeh-temeh. Semisal saja meminta adik kita mengambilkan kunci-kunci motor diatas meja pada saat kita lupa. Dan memang ini termasuk hal yang remeh. Tapi andilnya begitu besar untuk kita akhirnya tak perlu masuk ke dalam rumah lagi ketika sudah berada di luar tempat tinggal, contohnya.

Atau pada hal ini kita merasa tak sedang dalam posisi yg kuat buat mampu mengambil sendiri kunci tersebut. Atau kita menganggap letak adik kita lebih kuat pada akhirnya pengharapan kita terdapat padanya dengan sisipan ungkap tolong sebagai penghargaan kita kepadanya.

Lalu terdapat celoteh maaf, sebagai bentuk kita mengecilkan ego kita. Kita berusaha sebesar-besarnya buat tak merasa lebih besar, lebih baik, atau lebih tinggi dari orang lain. Kita meninggalkan baju “kekuasaan kita” buat mampu setara dengan siapapun yang kita ajak bicara saat ini. Kita menanggalkan ego kekayaan kita buat bisa “semiskin” orang yg kita bicara. Atau kita, pada konsep sama-sama besar bersama orang yang kita ajak bicara berusaha lebih “kecil” darinya.

Maaf dalam perspektif yg luas bisa sebagai bentuk penghargaan dan pengharapan yg besar lantaran ego kita sudah tiada. Kita berharap dan memang itu tujuannya untuk si sahabat ini tadi mampu sama-sama menanggalkan ego pula. Sehingga tujuan awal kita buat bisa sama rasa sama rata bisa terlaksana beserta sempurna.

Dan yang ketiga merupakan ungkapan terima kasih. Sebagai bentuk ungkapan kegembiraan atau mampu juga apresiasi serta penghargaan setinggi-tingginya kepada teman bicara atau yang telah memberi kita bantuan.

Kadang ungkapan terima kasih kita pula tidak jauh tidak sinkron sebagai bentuk ungkapan mengecilkan diri kita kepada teman atau siapa saja yang telah memberi kita donasi secara cuma-cuma atau pamrih kita kepadanya sekalipun sebagai bentuk keseriusan kita buat mengapresiasi kinerja orang tadi.

Namun belakangan, kombinasi ketiga ungkapan ini mulai hilang ditengah masyarakat kita. Sebagai gantinya, kadang kita lebih sering pada saat telah merasa tak butuh lagi mengucapkan terima kasih karena kita sudah memberi duit kepada kasir. Memang sepele sekali. Padahal ungkapan penghargaan dengan ucapan terima kasih ini admin rasa masih tetap perlu. Karena kita tidak tahu dampak dari penghargaan kita mungkin akan mengurangi beban kerja keras yang sudah dilakukannya sepanjang hari ini.

Kita kadang lupa mengatakan tolong buat meminta donasi kepada orang yang kita anggap terpaut usia dengan kita. Kita tak betul-betul memberi beliau semacam penghargaan besar agar diapun bisa merasakan cinta dan penghargaan sebagai seorang yg mungkin merasa masih “belia” dari kita.

Kita lebih sering menduga posisi kita lebih superior hanya lantaran kita lebih tua. Kita merasa karena lebih “senior” maka kita boleh saja bertindak sesukanya. Bahkan menyuruhnya dengan melupakan tolong sebagai ungkapan keseriusan kita. Kita lebih seringkali membentak lantaran menganggap kita memang pantas melakukannya.

Lalu ada celoteh maaf sebagai ungkapan keegoisan kita yg benar -betul telah hilang. Kita sudah jarang mendengar orang mengucapkan maaf sebagai ungkapan di awal kalimatnya semisal buat menanyakan sebuah lokasi. Kita lebih sering kali menganggap orang yg mengucapkan ungkap maaf di awal kalimat sebagai orang yang “kampungan”.

Kita tak lagi ingin memberikan apresiasi kepada orang yg berusaha meniadakan egonya. Bahkan mungkin terjadi dalam diri kita. Kita tak lagi berusaha meniadakan ego kita. Kita lebih menduga tutur maaf sebagai basa-basi yang tak perlu.

Pada akhirnya, kita mulai melupakan budaya kita yang telah turun-temurun ini serta terganti dengan hal-hal lain yg lebih millenial. Bahwa mungkin terdapat terselip hal-hal tersirat dari ketiga kombinasi ungkapan maaf, tolong, serta terima kasih ini sudah tidak terlalu penting bagi kita. Bagi kita saat ini, sumber apa yg ingin kita omongkan tersampaikan, lantas basa-basi telah tak kita perlukan.


Padahal kita tidak tahu seberapa besar dampak dari ungkapan maaf, tolong, serta terima kasih yang kita sisipkan di dalamnya.